Rusniaty Pallo*)
Kondisi kehidupan dinegeri kita mengalami ketimpangan. Disadari atau tidak, negara yang berfungsi mengayomi warganya tidak tampak dalam kehidupan nyata. Banyak fragmen masyarakat yang tidak memiliki akses memadai terhadap sumber daya ekonoi. Jelas, akhirnya mereka kian terpuruk, sedangkan golongan ekonomi kuat kian digdaya.
Lebih miris lagi, pembiaran negara dengan membenturkan masyarakat dalam pusaran arus kapitalisme tanpa perlindungan adalah fakta yang terbantahkan. Negara seolah-olah tak berkutik berhadapan dengan kekuatan pasar, sehingga membiarkan masyarakat ekonomi lemah terjerembab dalam jurang ketidakberdayaan. Mereka terhimpit dinegerinya yang kaya raya akan sumber daya alam (SDA) ini. Memang amat ironis menjumpai banyaknya kaum elit bermegah-megahan secara materi, tapi disudut lain masyarakat kecil banyak yang bunuh diri akibat kemiskinan. Kasus gizi buruk di negeri inipun merebak, apdahal bertumpuk-tumpuk kekayaan kaum elit tak pernah habis dibelanjakan.
Ditilik dengan mata hati jernih, keterpurukan kelompok masyarakat kecil di negeri ini lebih disebabkan miskinnya empati elite politik maupun elite ekonomi. Tak ada perasaan hidup bersama dalam satu atap bernama
Pada titik ini, kita dipastikan harus menempuh pekerjaan tak sederhana untuk membangun spirit sebagai satu bangsa. Dibutuhkan proses untuk melekatkan cita-cita nasional menjadi cita-cita bersama. Cita-cita nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 itu jelas bukan sekadar teks tak meruang. Tapi, cita-cita besar yang mesti terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kepemilikan terhadap cita-cita nasional pada setiap insan dinegeri ini pada akhirnya akan mampu melempangkan jalan bagi kebangkitan
Untuk itu, kita mutlak membangun spirit sebagai satu bangsa. Diakui atau tidak, persoalan besar kita sebenarnya bukan bagaimana memajukan kesejahteraan di Zamrud Khatulistiwa ini. Persoalan besar kita adalah membangun semangat sebagai satu bangsa yang hidup bersama di Rumah