Sabtu, 12 April 2008

Kabupaten Buru

Palupi P Astuti Litbang Kompas

PULAU Buru di masa pemerintahan Orde Baru dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik. Salah seorang yang pernah menjadi tahanan di salah satu pulau Provinsi Maluku ini hingga menghasilkan empat novel yang ditulis selama di penjara adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Bagi sebagian orang, ada luka pernah menganga di sini. Tak cukup itu, menyusul awan kelabu yang disebabkan konflik horizontal bernuansa suku, agama, dan ras menoreh wilayah ini beberapa tahun lalu.

KEDUA masa itu meninggalkan luka tak tersembuhkan bagi yang mengalaminya. Bedanya, jika yang pertama pelaku dan korbannya jelas, sementara yang kedua, meski tidak jelas siapa pelakunya, korban jatuh dari segala sendi kehidupan. Korban yang tak kasatmata adalah trauma mendalam. Selain itu, ada yang berwujud dan sampai kini sebagian masih dapat dijumpai.

Pemandangan bangunan yang hancur atau terbakar adalah bukti nyata yang menjadi saksi atas goretan emosi manusia-manusia yang ditimpakan padanya, meski yang menerima akibatnya bukan hanya fisik bangunan, tapi juga wilayah yang ditempati. Karena itu, pada saat itu, sektor konstruksi di kabupaten ini mengalami kejatuhan yang cukup berarti. Pembangunan tak berjalan. Akibatnya, nilai ekonomis lapangan usaha ini sangat kecil.

Walaupun bukan andalan kegiatan ekonomi, daerah yang juga populer sebagai penghasil minyak kayu putih ini cukup merasakan kehilangan dari lapangan usaha konstruksi. Pada awal berdiri sebagai daerah otonom tahun 1999, perputaran uang dari lapangan usaha ini sekitar 14 persen.

Pada perhitungan tahun berikutnya atau saat kerusuhan dimulai, nilai yang dicapai anjlok menjadi 2,3 persen. Berikutnya, nilainya terus menyusut hingga terakhir tahun 2002 yang diraih sektor ini kurang dari dua persen. Sepertinya tak ada yang berniat membangun atau sekadar merenovasi rumah atau bangunan yang rusak. Mengungsi menjadi prioritas utama.

Sekiranya ada yang paling dirugikan dari keadaan di atas adalah mungkin lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang ditinggal pemiliknya. Padahal, kedua sektor itu andalan kabupaten ini. Apalagi, hampir 70 persen penduduk pulau ini bermata pencarian petani atau pekebun.

Pada tahun 2002, keduanya mencatat kontribusi di atas 20 persen. Peringkat pertama ditempati perkebunan 27 persen. Penghasil komoditas kelapa, kakao, cengkeh, jambu mete, dan kopi ini memiliki lahan perkebunan 20.596 hektar yang seluruhnya perkebunan rakyat.

Luas areal terbesar ditanami kelapa 44 persen dari total lahan perkebunan. Sentra tanamnya di tujuh dari 10 kecamatan, yaitu Kecamatan Air Buaya, Kepala Madan, Waplau, Waisama, Bata Bual, Leksula, dan Namrole. Sementara kakao komoditas perkebunan unggulan kedua di Kecamatan Air Buaya, Kepala Madan, Waisama, Bata Bual, dan Waeapo.

Produk akhir perkebunan Kabupaten Buru yang semuanya non-olahan dan diusahakan oleh 13.542 keluarga itu didistribusikan ke daerah-daerah lain di Indonesia melalui tiga pintu pelabuhan utama, yaitu Ambon, Makassar, dan Surabaya.

Selain perkebunan, komoditas tanaman pangan selain padi yang mendominasi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar ataupun buah-buahan, seperti jeruk siam, pisang, dan mangga, adalah produk utama lainnya.

Buru juga dikenal sebagai sentra produksi beras di Provinsi Maluku. Meski areal yang terpakai untuk sawah tak seluas perkebunan, sumbangan yang dihasilkan dari perputaran uang di lapangan usaha ini cukup besar, berada di peringkat kedua setelah perkebunan.

Seperti perkebunan, produk pertanian Buru yang diperdagangkan pun tidak mengalami pengolahan. Seusai panen, pedagang pengumpul membeli hasil panen petani untuk dijual kembali ke pedagang besar. Setelah itu, distribusi produk pertanian dan perkebunan Buru secara massal dilakukan melalui Namlea, pelabuhan utama barang dan penumpang.

Wilayah yang seluruhnya berbatasan dengan lautan ini mengapalkan hasil bumi menggunakan kapal ekspedisi atau kapal niaga jurusan Namlea-Surabaya yang biasa masuk Namlea tiga kali sebulan tergantung muatan yang hendak diangkut. Selain itu, pelabuhan khusus kapal penyeberangan (feri) yang mengangkut penumpang dan barang disinggahi kapal Pelni yang melalui Manado, Ambon, Makassar, Surabaya, hingga Jakarta. Satu angkutan laut lain adalah kapal layar motor (KLM) yang melayani Ambon-Maluku Utara-Baubau.

Pengunjung yang meninggalkan Buru biasanya tak pernah lupa membawa buah tangan berupa minyak kayu putih dalam botol. Sebagai salah satu penghasil minyak kayu putih dengan kualitas baik di Maluku, pohon kayu putih bisa ditemui cukup banyak di hutan-hutan Pulau Buru, khususnya di Kecamatan Namlea, Waplau, dan Waeapo.

Hingga saat ini tanaman kayu putih tidak dibudidayakan secara khusus. Tumbuhan ini hidup alami di hutan atau lahan milik penduduk. Total lahan pohon kayu putih diperkirakan 120.000 hektar dengan kisaran kerapatan 100-160 pohon per hektar. Pada lokasi-lokasi yang daun kayu putihnya dipanen intensif, tinggi pohon sekitar 1-2 meter. Adapun pada lokasi yang kurang terjamah pemanen, pohon bisa mencapai ketinggian 10-25 meter. Pengolahan daun kayu putih menjadi minyak oleh penduduk menggunakan teknik penyulingan sederhana dan biasanya dilakukan langsung di lokasi pohon.

Sayangnya, tidak terawatnya pohon kayu putih menjadi salah satu kendala pengembangan jumlah dan mutu minyak yang dihasilkan. Layaknya tanaman liar, tidak ada yang mencegah pohon kayu putih terjangkit hama atau memberantasnya. Jarang sekali dilakukan pemangkasan gulma yang mengganggu tanaman induk.

Sebelum kerusuhan melanda Maluku dan sekitarnya, termasuk Pulau Buru, ada rencana memperbaiki kualitas pohon kayu putih. Upaya itu akan dijembatani sebuah perusahaan bekerja sama dengan penduduk pemilik lahan. Sayang, kerusuhan menghancurkan segalanya, bahkan pada proyek yang belum sempat berjalan itu. Akibatnya, peningkatan mutu produk suvenir utama dari Kabupaten Buru ini hanya sebatas rencana tanpa hasil. Sekali lagi, konfliklah penyebabnya.